Menerka Arah Media Massa, Mau Untung Malah Buntung

Hendri Setiadi

Kamis, 3 April 2025 - 14:19 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

(Ilustrasi: ist)

(Ilustrasi: ist)

Benarkah media massa lokal masih bisa bertahan hidup dan menghidupi (pengelola) atau sesungguhnya ini cuma proyek nombok demi mendongkrak reputasi?

(Netizenku.com): Awal tahun 2000-an, media cetak (harian atau  mingguan) di Lampung masih terbatas jumlahnya. Pun demikian dengan jumlah wartawan. Jumlah media massa dan wartawan yang tidak banyak ini menciptakan seleksi alam tersendiri.

Orang tidak gampang menyandang status wartawan kalau tidak ada media yang merekrutnya. Sebab media punya persyaratan tertentu dalam menyeleksi awak media. Kalaupun merekrut, jumlah yang diterima dipastikan tidak banyak. Karena berkonsekuensi terhadap pembiayaan perusahaan.

Sebaliknya, orang yang kepingin menjadi wartawan mesti memiliki kelebihan, agar bisa lolos seleksi. Disadari atau tidak, proses ini sudah menciptakan seleksi alam dengan sendirinya. Maka tak berlebihan bila muncul rasa bangga saat berhasil diterima sebagai wartawan di sebuah media cetak.

Kebanggaan itu akan terus dipelihara dalam wujud memberi kinerja terbaik. Sebab, ada kesadaran, kalau sampai kedodoran melakukan peliputan dan memble menulis berita menarik, boleh jadi pertanda tepi jurang. Pimpinan redaksi bisa setiap saat murka, dan bila stok toleransinya sudah tandas, tinggal tunggu waktu posisi kita digeser wartawan baru.

Semua perjuangan keras itu melahirkan kebanggaan menjadi bagian dari pers. Publik pun bisa membaca gelagat media yang selektif dan wartawan yang kompetitif itu. Sebagai timbal baliknya mereka menunjukkan apresiatif. Saat itu masih dengan mudah didapati publik menghargai pers. Masih tinggi pula kebanggaan pada insan pers untuk memperkenalkan diri sebagai wartawan!

Disrupsi Digital

Suasana serupa itu perlahan namun pasti berubah secara signifikan. Kemunculan media daring cepat merambat ke daerah. Entah karena orang-orang di daerah tergolong adaptif terhadap perkembangan zaman atau cuma sekadar latah. Yang jelas dalam waktu relatif singkat jumlah media online di Lampung membludak.

Kalau ditanya mana data konkrit hingga menyebut “membludak”. Jangankan saya, Dewan Pers pun belum memiliki data jumlah yang akurat. Mereka baru punya data media daring yang terverifikasi. Saya jamin itu hanya pucuk gunung es dari jumlah riil media online di Lampung.

Baca Juga  Generasi Sat-set Wartawan Masa Kini

Saya pun masih menyangsikan akurasi Dewan Pers saat menyeleksi media yang terverifikasi. Serius, tapi saya tidak bermaksud mengulik itu lebih jauh di sini, karena bakal panjang lebar pembahasannya.

Namun yang tak terbantahkan ialah melonjaknya jumlah media online tidak berbanding lurus dengan peningkatan jurnalisme berkualitas. Silakan sebutkan media daring yang bagus. Mungkin akan muncul beberapa nama. Jumlahnya diduga tidak melebihi jari di kedua belah tangan kita.

Kalau pun mau diperluas lagi, bisa saja. Tapi saya yakin tetap tak akan lebih dari jumlah jari di tangan kanan dan kiri plus jumlah jari di kedua telapak kaki kita. Jumlah ini cuma secuil dibanding seluruh media daring yang ada di Lampung.

Mari kita telusuri. Di Lampung terdapat 15 kabupaten/kota. Kalau dari masing-masing daerah ada 50 media daring lokal, jumlah keseluruhan mencapai 750 website berita. Dua puluh media daring yang dianggap bagus tadi presentasinya hanya 2,6 persen saja.

Tapi sekali lagi saya perlu menggarisbawahi, yang saya maksud bagus belum tentu berkualitas. Sebab boleh jadi media bagus menurut selera publik adalah yang melulu memposting berita viral atau kriminalitas. Bad news is good news. Sementara media yang menyajikan berita edukatif dan inspiratif yang dikelola secara profesional belum tentu laku dibaca publik.

Kemudian, dari media-media yang dianggap bagus itu apakah juga bagus dalam mendatangkan penghasilan Google AdSense?

Untuk menjawab ini tentu tak mudah. Lantaran menyangkut rahasia dapur perusahaan. Kalau pun diperoleh data, validasinya sulit dibuktikan. Kecenderungan yang ada pengelola media bakal mengaku memperoleh hasil “lumayan” untuk mendongkrak reputasi media.

Kalau pun benar dapat hasil lumayan, konsistensinya masih tetap patut dipertanyakan. Apakah benar setiap bulan penghasilannya tetap lumayan. Sementara kewajiban untuk membiayai operasional perusahaan rutin dikeluarkan saban bulan.

Baca Juga  Belajar Menambal Kredibilitas dari The New York Times

Lantas bagaimana dengan media daring yang sedikit pengunjung? sudah pasti tidak ada harapan pendapatan dari Google AdSense. Bila kondisi secara umum demikian, kok sekian banyak media daring di Lampung masih tetap ada hingga hari ini?

Jawaban paling dekat karena masih ada kerja sama dengan Diskominfo dan Sekretriat DPRD di tiap kabupaten/kota serta Pemprov Lampung. Apakah nilai kerja sama memadai?

Mari kita kalkulasi. Seandainya ada kerja sama dengan nilai kontrak Rp1 juta sebulan. Lalu ada kewajiban menayangkan 30 berita dalam durasi sebulan, itu sama artinya satu berita bernilai Rp33 ribu. Tapi banyak pula nilai kontrak di bawah Rp1 juta. 

Kalaupun setiap media menjalin kerjasama dengan seluruh kabupaten/kota lantas nilai kerja sama diakumulasi, apakah memadai untuk mengongkosi gerak aktivitas redaksi? Sialnya, masih sangat sedikit media daring yang mampu serupa itu. Tak pelak, media daring tetap berkutat dengan persoalan income yang minim.

Disclaimer, pada estimasi ini saya tidak memasukkan media-media (yang katanya) mainstream dan media daring yang berjejaring. Karena mereka didukung oleh grup media nasional yang punya infrastruktur untuk menyelaraskan traffic dengan algoritma Google. Saya memfokuskan pembahasan pada media daring lokal.

Penghasilan minim berkonsekuensi pada keterbatasan kru redaksi. Alhasil, tidak perlu kaget kalau faktanya satu orang mesti merangkap semua pekerjaan. Mulai dari meliput, mengedit, memposting juga mengopeni tetek bengek urusan administratif. Ini bukan karena multi talenta. Tapi lebih kepada upaya sekadar bertahan hidup.

Dari gambaran semacam itu lantas masih beranikah kita menuntut kehadiran media-media daring berkualitas? Saya sarankan untuk tidak terlalu banyak berharap.

Subsidi dan Reputasi

Bila kondisi media cetak hari ini sudah memasuki masa senja kala, ditandai dengan penghasilan perusahaan yang acapkali tekor ketimbang untung, lalu disrupsi digital yang melahirkan banyak media daring yang nasibnya juga megap-megap, lantas model media daring lokal macam apa yang mampu mengusung jurnalisme berkualitas?

Baca Juga  Umar Ahmad, Artis Sesungguhnya di Panggung Pilgub Lampung

Kalaupun ada satu atau dua media daring yang diajukan sebagai jawaban dari pertanyaan di atas, mari ditelisik lebih dalam. Benarkah kerja-kerja redaksinya murni dibiayai dari income bisnis, bukan subsidi? Subsidi yang dimaksud tidak selalu dalam bentuk pendanaan. Bisa pula berupa kapasitas.

Misalnya, si owner media memiliki kapasitas publik tertentu. Status yang disandangnya itu berpotensi mendorong banyak pihak untuk bekerja sama dengan media yang dimilikinya. Pola seperti ini jelas bukan termasuk formulasi bisnis. Melainkan mutlak pemanfaatan power si empunya media. Bisnis dan power individu jelas dua hal berbeda.

Hal sebaliknya juga bisa terjadi. Si pemilik media rela mensubsidi berkepanjangan agar eksistensi medianya tetap terjaga. Kok mau? ditengarai si owner ingin mendompleng status prestisius sebagai pemilik media. Power ini diharapkan bisa memberi timbal balik terhadap kedudukan sosial atau memuluskan bisnisnya di bidang lain. Dalam hal ini terdapat hubungan simbiosis mutualisme yang sangat kentara.

Terjadinya relasi seperti digambarkan di atas makin menyulitkan kita untuk mendapati media daring yang benar-benar sehat secara bisnis dan berkualitas kontennya. Setidaknya hingga saat ini, menurut amatan saya, belum ditemui di Lampung.

Kalau kondisi media daring secara keseluruhan masih serupa itu, adakah pihak yang terdampak negatif karenanya? tanpa kesulitan saya menjawab, ada.

Pihak yang paling dirugikan itu adalah orang-orang yang serius dan setia menggeluti jurnalistik. Para insan pers yang masih menjaga nilai-nilai berita, serta terus berupaya menghadirkan spirit bagaimana layaknya sebuah berita ditulis serta bagaimana hendaknya menjaga independensi media. Paling tidak bisa menyamai wibawa media cetak ketika masih berjaya.

Para insan pers inilah yang sesungguhnya menjalani hari-hari dilematis. Kecewa sekaligus kebingungan menjalani pers di era disrupsi digital. Tapi hendak banting stir meninggalkan dunia jurnalistik bukan pula perkara mudah, mengingat spirit jurnalis sudah terlanjur mendarah daging menyatu di badan dan pikiran. (*)

Berita Terkait

Generasi Sat-set Wartawan Masa Kini
Belajar Menambal Kredibilitas dari The New York Times
Obrolan Wartawan di Sela Ketupat Lebaran
Wartawan, Storyteller yang Bukan Pengarang Bebas
Merapat ke Markas Tempo
Kita Pernah Punya Wartawan Jihad, Kapan Ada Lagi?
Tak Perlu Kepala Babi dan Bangkai Tikus untuk Membuat Kicep
Kebohongan Resmi dan Keterangan Palsu

Berita Terkait

Rabu, 26 Maret 2025 - 17:54 WIB

ILS-BAZNAS Lampung Salurkan Kado Ramadan untuk Kader dan Pasien TBC

Kamis, 20 Maret 2025 - 22:20 WIB

Bank Lampung Butuh Satu Orang Ini

Kamis, 20 Maret 2025 - 21:56 WIB

Purnama Wulan Sari Mirza Terpilih Jadi Ketua PMI Lampung

Kamis, 20 Maret 2025 - 17:34 WIB

Berbagi Bahagia Bersama BRI Group, RO Bandarlampung Salurkan 1.680 Paket Sembako

Kamis, 20 Maret 2025 - 16:09 WIB

BPJS Kesehatan Komitmen Akses Layanan JKN Tetap Buka Selama Libur Lebaran

Rabu, 19 Maret 2025 - 21:46 WIB

KPU Lampung: Uji Publik Calon Pengganti PSU Pesawaran Berlangsung Hanya Sampai Besok!

Rabu, 19 Maret 2025 - 20:18 WIB

Pasar Murah Jelang Idul Fitri, PLN UID Lampung Siapkan 1000 Paket Sembako

Rabu, 19 Maret 2025 - 14:55 WIB

BRI Regional Office Bandarlampung Santuni 200 Anak Yatim Piatu di Bulan Ramadan

Berita Terbaru

(Ilustrasi pinterest)

Celoteh

Generasi Sat-set Wartawan Masa Kini

Jumat, 4 Apr 2025 - 13:34 WIB

(Ilustrasi: ist)

Celoteh

Menerka Arah Media Massa, Mau Untung Malah Buntung

Kamis, 3 Apr 2025 - 14:19 WIB

Buku The New York Times karya Ignatius Haryanto. (foto: koleksi pribadi)

Celoteh

Belajar Menambal Kredibilitas dari The New York Times

Selasa, 1 Apr 2025 - 12:37 WIB

Ketupat (foto: ist)

Celoteh

Obrolan Wartawan di Sela Ketupat Lebaran

Senin, 31 Mar 2025 - 20:48 WIB