Bandarlampung (Netizenku): GrondKaart yang selama ini menjadi pegangan PT. Kereta Api Indonesia (KAI) dalam mengklaim aset lahannya, bukan merupakan alas hak.
Hal ini ditegaskan Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia, Arie S. Hutagalung dalam Fokus Grup Diskusi yang digelar Badan Akuntabilitas Publik DPD RI (16/3) di ruang rapat BAP DPD RI Senayan.
\”GrondKaart hanya berupa gambar situasi atau semacam surat ukur, jadi tidak bisa dikatakan sebagai alat menegaskan fomal yuridis kepemilikan lahan,\” tegasnya.
Menurutnya, aspek kepastian dan perlindungan hukum berkenaan dengan legalitas tanah-tanah aset kereta api adalah ditentukan dengan mengikuti ketentuan pendaftaran konversi eks Hak Barat.
\”Secara kronologis, berkenaan dengan perubahan status badan hukum pada perusahaan yang kemudian menjalankan perkereta apian di Indonesia, bahkan sejak sebelum era DKA (Djawatan Kereta Api) yang berlanjut hingga sebagaimana ditemukan dalam situs resmi PT.KAI (persero), hingga saat ini tidak ada proses sertifikasi GrondKart menjadi kepemilikan sesuai konversi hak-hak Barat yaitu; eigendom, opstal maupun erpacht,\” jelasnya.
Apalagi, menurutnya, secara bukti fisik Grondkaart tidak ditemukan aslinya. Yang ada hanyalah salinan. \”Dengan demikian grondkaart bukan merupakan alas hak formil yuridis kepemilikan PT. KAI,\” ucapnya.
Senada, pakar hukum Universitas Andalas Padang Kurnia Warman mengatakan, pada saat konversi hak-hak barat menuju nasionalisasi di tahun 1960-an, pendaftaran tanah memerlukan data yuridis (dasar hukum penguasaan) dan data fisik (gambar situasi seperti Groondkaart) penguasaan tanah tersebut untuk dipindahkan ke buku tanah dan sertifikat tanahnya sesuai kewenangan instansi pemerintah.
\”Sesuai UUPA no. 5/1960 diberikan batas waktu 20 tahun untuk mendaftarkan lahan-lahan yang berasal dari hak barat. Dalam kajian kami, lahan-lahan yang tergolong grondkaart tidak didaftarkan ke BPN, sehingga dengan demikian grondkaart menjadi tanah negara bebas,\” jelasnya.
Sementara itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Yuli Indrawati mengungkapkan bahwa kekisruhan aset PT. KAI berawal dari kelalaian administrasi. \”Dari hasil penelitian kami, pihak Kementerian Perhubungan tidak mengeluarkan surat yang menyebutkan secara spesifik menyerahkan lahan kepada PT. KAI sebagai penyertaan modal atau penambahan modal. Kalau pun ada itu harus dibuat dalam bentuk Peraturan Menteri tentang penyerahan aset,\” jelasnya.
Demikian juga tidak ada laporan atau surat yang ditujukan kepada Kemenkeu dalam hal administrasi lahan kereta api sehingga sama sekali tidak tercatat dalam kekayaan negara.
\”Mengingat masalah ini telah berdampak luas dan dalam rangka melindungi kepentingan umum dan kepentingan nasional, Presiden Republik Indonesia sebaiknya menetapkan keputusan strategis dan penting agar warga masyarakat tidak dirugikan dan PT Kereta Api Indonesia dapat memberikan penghormatan yang layak dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan harkat martabat kemanusiannya,\” imbaunya.
Menanggapi hal ini, Anggota DPD RI Andi Surya mengatakan bahwa PT. KAI tidak memiliki alat formal yuridis untuk menegaskan bahwa grondkaart adalah asetnya.
\”Demi keadilan dan menghormati kebijakan Presiden Jokowi dalam hal sertifikasi lahan warga yang telah ditempati puluhan tahun, seharusnya PT. KAI legowo dan ikhlas melepaskan lahan-lahan grondkaart yang tidak terpakai dalam tugas pokok operasional KA untuk kepentingan warga masyarakat yang membutuhkan kepastian lahan miliknya,\” jelas Andi. (Rio)