Wartawan sebentar. Lalu mendapuk diri sebagai redaktur. Sekejap kemudian menjadi pemilik media. Alangkah cerdas dan taktisnya wartawan masa kini.
(Netizenku.com): Wartawan lama kerap terbengong-bengong mengamati lompatan zig-zag yang diambil anak-anak muda yang menceburkan diri di jurnalistik. Begitu atraktif. Sangat bernyali. Berkemauan tinggi. Tak peduli apa kata orang yang penting fokus pada tujuan.
Saking takjub tak sedikit wartawan lama yang pada awalnya bereaksi merutuki diri. Betapa pandir mereka selama ini. Buktinya, ketika masa-masa awal menjadi wartawan dulu, tidak pernah terpikir untuk cepat-cepat merubah nasib. Mereka malah seperti kerbau dicocok hidungnya. Mau-maunya berlama-lama “disiksa” redaktur pergi ke sana- kemari untuk meliput ini-itu.
Sudah pun menurut bukan pujian yang tersaji. Tak jarang redaktur tetap saja mendelik. Menemukan kesalahan dan kekurangan. Ganjarannya, tanpa ampun, diminta lagi kembali ke narasumber untuk melengkapi tulisan. Baru kemudian menulis ulang berita secara benar dan apik.
Wartawan lama juga merasa tidak punya nyali seperti wartawan masa kini. Mestinya, dulu mereka berontak. Berani buka mulut. Bukan untuk memaki balik redaktur, tapi setidaknya sekadar bilang, “Bos, kalau saya sudah bisa tulis berita secara lengkap, bagus, apik dan menarik. Terus apa kerja Bos?”
Di situlah letak kelemahan wartawan lama. Biar pun akhirnya bisa menulis apik, tapi tidak terlatih membangkang redaktur. Alih-alih mendebat, malah lebih rela menyiksa diri. Menelan mentah-mentah apa yang dititahkan redaktur. Terlalu legowo. Sampai cenderung menyalahkan diri sendiri. “Iya sih, datanya memang kurang lengkap” atau “Bener juga, setelah dirubah begini, beritanya jadi enak dibaca”.
Wartawan lama juga suka minderan. Jangankan didapuk menjadi redaktur. Ditugasi sebagai asisten redaktur saja rasanya sudah campur aduk. Tidak dipungkiri terselip rasa senang. Tapi yang mendominasi justru lebih merasa ketar-ketir. Khawatir menopang beban tanggung jawab yang lebih besar. Was-was kalau tak mampu menjaga atau meningkatkan kualitas redaksional, serta takut gagal mengkader wartawan.
Padahal semua itu ketakutan yang berlebihan. Karena kalau ditinjau dari segi jam terbang dan kemampuan sudah memadai. Tapi itulah wartawan lama. Terlalu mengkultuskan hirarki jabatan redaksi. Malah kadang kelewat mengagung-agungkan senior.
Coba bandingkan dengan prestasi wartawan masa kini. Baru sebentar jadi wartawan, lalu ikut Uji Kompetensi Wartawan (UKW), semenjak itu pula langkahnya melejit. Bahkan, tidak sedikit pula yang tak terlihat aktif di redaksi, tapi rajin ikut UKW, predikatnya sontak melesat bak meteor dan tanpa aral melintang status wartawan utama sudah dalam genggaman. Ini sungguh taktis. Sebuah perpaduan ciamik antara kecerdasan dan kejelian melihat peluang yang jarang dimiliki wartawan lama.
Tidak itu saja, wartawan masa kini juga terbilang cepat belajar, tidak perlu berlama-lama mengasah kemampuan diri sebagai jurnalis seperti melatih daya tembus mengakses narasumber, membuat tulisan feature, investigative reporting, opini, esai dan tajuk rencana.
Semua tahapan itu dalam sekelebatan bisa dilampaui. Apalagi namanya kalau bukan karena piawai dan terampil. Ini jelas kemampuan di atas rata-rata. Sementara wartawan lama tak jarang butuh waktu belasan tahun untuk tiba ke posisi redaktur.
Tak sampai di situ. Di era disrupsi digital yang datang bak menenteng pedang Raja Brama Kumbara, mata pedangnya mampu menebas aral rintangan untuk membuka jalur mudah membuat media daring (dalam jaringan internet). Berbekal sertifikat UKW di saku, tanpa mesti berjuang berdarah-darah, melenggang santai menuju singgasana kursi pemimpin redaksi.
Tidak sedikit pula yang malah mengejawantah menjadi pemilik media. Sebuah predikat yang di masa lalu, atau bahkan pasca reformasi, merupakan posisi adiluhung yang tidak sembarang orang bisa mendudukinya. Tak salah memang menyebut generasi wartawan masa kini memiliki nyali besar. Punya keberanian menerabas tradisi hirarki redaksi.
Kalau kemudian ada yang mempersoalkan, ah abaikan saja. Biarkan anjing menggonggong dan kafilah terus berlalu. Peduli setan omongan orang, tetap (saja) fokus menggapai tujuan. Demikian mungkin dalih kebanyakan wartawan masa kini sambil mengutip ungkapan bijak, “Lain zaman, beda pula tantangan. Jadi jangan disama-samain”.
Benar juga. Eranya sekarang memang sudah berubah. Semua orang punya kesempatan yang sama. Jadi wartawan lama juga bisa melakukannya. Tak ada soal.
Ketika hal ini saya sampaikan ke seorang rekan yang sudah puluhan tahun menggeluti dunia jurnalistik, tanpa dinyana dia menjawab, “Iya benar, aturan mainnya memang sudah berbeda. Tapi aku kok tetap malu ya untuk buat website sendiri. Nanti dibilang owner. Pengusaha media. Ah, nggak sanggup aku”.(*)