Bandarlampung (Netizenku.com): Pandemi Covid-19 tak menghilangkan kesakralan upacara adat umat Hindu Bali Banjar Buana Santhi, Labuhan Dalam Kota Bandarlampung, dalam menjalankan rangkaian upakara (upacara) adat menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru 1943 Caka yang jatuh pada Minggu (14/3).
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat dan Provinsi Lampung mengimbau umat Hindu Bali agar Hari Raya Nyepi 1943 Caka dirayakan dengan menerapkan Protokol Kesehatan Covid-19.
Ada 4 banjar (organisasi kemasyarakatan terkecil dalam masyarakat adat Bali) di wilayah Kota Bandarlampung yang dihuni umat Hindu Bali.
Banjar Bhuana Shanti meliputi Kedaton, Rajabasa, Way Halim dengan jumlah warga lebih kurang 252 kepala keluarga (KK) merupakan banjar dengan masyarakat Bali terbesar di Kota Bandarlampung sehingga mendapatkan julukan Kampung Bali.
Sementara tiga banjar lainnya yakni Banjar Satria mencakup wilayah Panjang, Teluk Betung, Garuntang memiliki warga 150 KK, Banjar Tengah mencakup wilayah Tanjungkarang Pusat, Pahoman, Sukabumi , Kemiling dengan 100 KK, dan Banjar Satya Dharma wilayah Sukabumi dan sekitarnya dengan jumlah warga 60 KK.
Sekretaris Banjar Bhuana Shanti, I Wayan Aryudi, mengatakan umat Hindu Bali sejak tiga hari terakhir telah melakukan rangkaian upacara adat menyambut Hari Raya Nyepi 1943 Caka seperti Upakara Melasti dan Upakara Mecaru.
Upakara Melasti, jelas Wayan, adalah membersihkan semua perangkat yang ada di pura sembahyangan seperti pratima.
\”Biasanya dilaksanakan di laut namun karena anjuran dari PHDI Provinsi maupun Pusat, kegiatan Melasti dilaksanakan di pura masing-masing karena kondisi pandemik,\” kata Wayan saat ditemui Netizenku pada Sabtu (13/3) pagi di Pura Banjar Bhuana Shanti.
Upakara Mecaru, Korban Suci Buta Kala
Saat ditemui, Wayan bersama puluhan warga Banjar Bhuana Shanti sedang bergotong royong mempersiapkan Upakara Mecaru.
Sepanjang persiapan Mecaru, muda-mudi banjar mengiringi kegiatan dengan menabuh gamelan Bali yang tersedia di balai banjar. Mereka tergabung dalam Sendratari Sekar Wawai yang sudah malang melintang dalam berbagai lomba.
\”Mecaru merupakan upacara adat memberikan korban suci kepada Buta Kala atau Buta Yadnya supaya mereka tidak mengganggu kegiatan kita nanti di perayaan Nyepi,\” ujar Wayan.
Korban suci berupa daging ayam, telur, bunga dan jajanan pasar disusun sedemikian rupa dalam wadah yang terbuat dari anyaman pandan dan daun kelapa atau janur.
Korban suci disembahkan diiringi dengan nyanyian puja atau doa (Mekidung) yang dipimpin seorang Mangku disertai aroma harum dupa yang dibakar.
Upakara Mecaru dimulai tepat pukul 12.00 Wib siang dan diikuti sebagian kecil warga Bhuana Shanti karena harus menerapkan protokol kesehatan menjaga jarak.
Perayaan Nyepi di Kota Bandarlampung yang biasanya dipusatkan di Banjar Bhuana Shanti, kali ini, karena kondisi pandemik tiga banjar lainnya tidak bergabung dan hanya melaksanakan di pura banjar masing-masing.
Wayan menjelaskan, ada satu rangkaian upacara lagi yang harusnya dilaksanakan sebelum malam Tahun Baru 1943 Caka dimulai tepat pukul 00.00 Wib.
\”Pengerupukan, dimana kita membuat ogoh-ogoh yang melambangkan Buta Kala untuk diarak kemudian dimusnahkan dengan cara dibakar. Tapi karena pandemik tidak diperbolehkan,\” kata dia.
Wakil Ketua Bidang Ekonomi PHDI Provinsi Lampung ini mengatakan umat Hindu Bali mulai melaksanakan Catur Brata Penyepian sejak Sabtu (13/3) malam pukul 00.00 Wib hingga Minggu (14/3) malam pukul 00.00 Wib.
\”Jadi pas 24 jam,\” tegas Wayan.
Umat Hindu Bali merayakan Tahun Baru 1943 Caka dengan melakoni Catur Brata Penyepian.
\”Yang pertama amati geni artinya tidak boleh menyalakan lampu simbol menahan nafsu. Kemudian amati karya tidak boleh melakukan pekerjaan tapi untuk kerohanian boleh seperti membaca kitab suci,\” jelas Wayan.
Selanjutnya amati lelanguan tidak boleh melakukan hiburan-hiburan dan yang keempat amati lelungan tidak boleh berpergian.
\”Artinya kita berdiam diri menyepi di rumah masing-masing,\” kata dia.
Wayan mengaku pandemi Covid-19 membuat sebagian warga merasakan ada hal yang kurang dalam perayaan Nyepi tahun ini karena pembatasan kegiatan masyarakat. Namun perayaan Nyepi di Banjar Bhuana Shanti dan banjar lainnya meski tanpa Melasti dan Ogoh-Ogoh dipastikan tidak mengurangi nilai spiritualitas yang terkandung di dalamnya.
\”Dari segi upacaranya ada yang kurang tapi karena kita memaklumi kondisi seperti ini, maknanya tidak berkurang. Tetap tidak mengurangi kesakralan upacara itu sendiri, mungkin hanya dibatasi saja,\” ujar dia.
Wayan mengimbau agar umat Hindu Bali di Kota Bandarlampung melaksanakan Nyepi dengan tertib sehingga tidak mengganggu masyarakat lain.
\”Dalam pelaksanaan Catur Brata Penyepian, selain petugas keamanan adat Pecalang, kami juga dibantu Bankom umat beragama lain. Biasa seperti itu, toleransi umat beragama lah sesuai dengan tema perayaan Nyepi tahun ini, kolaborasi dalam harmoni menuju Indonesia maju,\” pungkas Wayan. (Josua)