Jika pada tulisan sebelumnya persoalan penghargaan dibaca sebagai masalah representasi fiskal, maka pada titik ini pertanyaannya bergeser, mengapa anomali semacam itu bisa terus berulang dan diterima sebagai sesuatu yang wajar? Jawabannya tidak berdiri pada satu kebijakan atau satu penghargaan, melainkan pada sebuah pola yang kian menguat dalam praktik pemerintahan daerah: apa yang dapat disebut sebagai kadalistik kebijakan.
Kadalistik, dalam konteks ini, bukanlah kebohongan terbuka. Ia bekerja lebih halus. Data tetap digunakan, indikator tetap dirujuk, dan bahasa kebijakan tetap terdengar teknokratis. Namun realitas disesuaikan dengan kebutuhan citra. Kategori dipilih secara selektif, konteks dipersempit, dan capaian dipresentasikan seolah berdiri di atas fondasi yang lebih kokoh daripada keadaan sebenarnya.
Di Lampung, pola ini menemukan ruang suburnya. Ketika kapasitas fiskal masih terbatas, ketergantungan pada transfer pusat tinggi, dan struktur ekonomi belum bertransformasi secara signifikan, narasi keberhasilan justru bergerak lebih cepat daripada perbaikan struktural itu sendiri. Penghargaan menjadi instrumen penting dalam proses ini, bukan sebagai alat evaluasi, melainkan sebagai alat legitimasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peran OPD tidak bisa dilepaskan dari mekanisme tersebut. Dalam sistem birokrasi yang kian menekankan kinerja simbolik, OPD dituntut bukan hanya bekerja, tetapi juga menceritakan kerja. Laporan kinerja, bahan presentasi, dan rilis keberhasilan disusun dengan logika yang sama, yakni menonjolkan apa yang bisa ditonjolkan, dan mengecilkan apa yang belum selesai. Ini bukan pelanggaran administratif, tetapi pilihan politis dalam ruang abu-abu kebijakan.
Masalahnya, ketika pilihan ini dilakukan secara sistemik, ia menciptakan jarak antara realitas ekonomi dan narasi pembangunan. Penurunan kemiskinan, misalnya, lebih sering dirayakan sebagai bukti keberhasilan kebijakan, ketimbang dibaca sebagai sinyal bahwa daya tahan masyarakat masih diuji oleh mahalnya biaya hidup, sempitnya lapangan kerja formal, dan rendahnya nilai tambah sektor ekonomi utama. Keberhasilan dipersempit menjadi angka, sementara struktur yang melahirkan angka itu jarang disentuh.
Di sinilah ekonomi politik Lampung perlu dibaca ulang. Selama sektor primer tetap dominan, hilirisasi berjalan lambat, dan PAD tidak tumbuh signifikan, kapasitas fiskal daerah akan terus rapuh. Dalam kondisi seperti ini, produksi citra menjadi lebih murah daripada reformasi struktural. Penghargaan lebih mudah diraih daripada memperluas basis pajak daerah atau meningkatkan produktivitas ekonomi.
Pers memiliki posisi krusial dalam lingkaran ini. Ketika penghargaan diberitakan apa adanya, tanpa konteks fiskal dan ekonomi, pers, sadar atau tidak, ikut memperkuat kadalistik kebijakan. Bukan karena pers berpihak, tetapi karena logika kejar tayang dan akses informasi sering kali lebih cepat daripada proses verifikasi struktural. Akibatnya, publik menerima versi realitas yang sudah dipoles, bukan realitas yang utuh.
Fenomena ini berbahaya bukan karena ia sepenuhnya salah, tetapi karena ia terlalu nyaman. Kadalistik kebijakan menciptakan ilusi bahwa Lampung sedang baik-baik saja, padahal tantangan mendasarnya belum berubah. Ketika kritik muncul, ia mudah dipatahkan dengan daftar penghargaan. Ketika pertanyaan fiskal diajukan, ia diredam dengan narasi keberhasilan sektoral.
Padahal, pembangunan daerah tidak diukur dari seberapa sering ia diapresiasi, melainkan dari seberapa kuat ia bertahan tanpa pujian. Selama kapasitas fiskal Lampung belum benar-benar menguat, selama ekonomi daerah belum naik kelas, dan selama kemiskinan masih menjadi persoalan struktural, maka setiap penghargaan seharusnya dibaca dengan kehati-hatian.
Kadalistik kebijakan bukan soal niat buruk, melainkan soal kebiasaan yang dibiarkan. Jika tidak dikoreksi, ia akan terus memproduksi citra yang menenangkan, tetapi menjauhkan Lampung dari debat yang paling penting: apa yang benar-benar perlu diubah, bukan sekadar apa yang bisa dirayakan
Bersambung…
.***








