Tahun 2025 menjadi fase krusial bagi Lampung dalam menata ulang arah pembangunannya. Di tengah pergantian kepemimpinan daerah dan tekanan fiskal nasional, Lampung tidak sekadar dituntut bergerak cepat, tetapi juga diminta menjawab pertanyaan yang lebih mendasar, apakah pembangunan yang dikejar benar-benar menyiapkan fondasi jangka panjang, atau sekadar menambal ketertinggalan lama dengan biaya mahal.
Di atas kertas, capaian infrastruktur Lampung sepanjang 2025 patut dicatat. Pemerintah Provinsi mencatat persentase jalan nasional dan provinsi dalam kondisi mantap meningkat menjadi sekitar 89 persen, naik dari 87 persen pada 2024. Angka ini menempatkan Lampung sedikit di atas rata-rata beberapa provinsi tetangga di Sumatera bagian selatan yang masih berada di kisaran 85–86 persen. Perbaikan jalan penghubung sentra pertanian, perkebunan, dan kawasan industri mulai menurunkan waktu tempuh serta menekan biaya logistik, terutama bagi komoditas unggulan seperti singkong, kopi, dan hasil hortikultura.
Pembangunan dan pemeliharaan jalan serta jembatan menjadi tulang punggung capaian ini. Di bawah koordinasi Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK) Provinsi Lampung yang dipimpin Taufiqullah, fokus diarahkan pada ruas-ruas strategis antar kabupaten, jalur produksi menuju pelabuhan, serta perbaikan jembatan penghubung wilayah pedesaan. Sejumlah jembatan lama direhabilitasi untuk menopang beban angkutan berat, sementara pembangunan jalan provinsi diarahkan agar terkoneksi dengan Jalan Tol Trans-Sumatra, memperkuat posisi Lampung sebagai gerbang logistik Sumatra bagian selatan.
Jika dibandingkan secara regional, laju perbaikan infrastruktur darat Lampung tergolong agresif. Kapasitas dan kualitas jaringan jalan tumbuh lebih cepat dibanding Sumatera Selatan dan sebagian wilayah Banten. Dampaknya mulai terasa, arus distribusi lebih lancar, mobilitas tenaga kerja meningkat, dan biaya transportasi perlahan turun. Dalam konteks ini, Lampung menunjukkan bahwa investasi infrastruktur bukan sekadar proyek fisik, melainkan instrumen ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, pembangunan infrastruktur tidak berdiri di ruang hampa fiskal. Di sinilah perdebatan menjadi relevan dan layak dibuka ke publik. Sepanjang 2025, muncul fakta bahwa Pemerintah Provinsi Lampung mengajukan skema pembiayaan melalui utang daerah dengan nilai yang disebut mencapai sekitar Rp1 triliun. Informasi ini memang sempat menjadi perbincangan dan diberitakan, sekaligus memantik kekhawatiran publik soal keberlanjutan fiskal.
Secara normatif, utang daerah bukanlah pelanggaran. Regulasi memperbolehkan pemerintah daerah berutang sepanjang memenuhi rasio kemampuan keuangan dan diarahkan untuk kegiatan produktif. Pertanyaannya bukan semata “boleh atau tidak”, melainkan “untuk apa dan sejauh mana dampaknya”. Jika utang digunakan untuk mempercepat perbaikan jalan, jembatan, dan infrastruktur dasar yang menurunkan biaya ekonomi jangka panjang, maka ia dapat dibaca sebagai investasi pembangunan. Sebaliknya, jika utang hanya menutup belanja rutin atau proyek berdaya ungkit rendah, maka ia berpotensi menjadi beban generasi berikutnya.
Dalam konteks Lampung, narasi resmi pemerintah menyebutkan bahwa penguatan infrastruktur menjadi salah satu justifikasi utama pengelolaan fiskal, termasuk opsi pembiayaan nonkonvensional. Tantangannya adalah memastikan transparansi, prioritas, dan disiplin anggaran. Ketergantungan APBD pada transfer pusat, penggunaan SiLPA yang berulang, serta dominasi belanja rutin selama bertahun-tahun menjadi latar belakang mengapa keberanian fiskal harus diimbangi ketelitian kebijakan.
Pembangunan infrastruktur Lampung juga tidak hanya berhenti di darat. Revitalisasi Pelabuhan Panjang dan keinginan untuk merealisasikan jalur penyeberangan Mesuji–Bangka Belitung sebaiknya terus digaungkan dengan kesadaran bahwa konektivitas laut penting dikembangkan demi konsistensi dan memperkuat sektor perdagangan. Sebab, dibanding provinsi kepulauan lain, transportasi laut Lampung masih tertinggal, dan ini menjadi pekerjaan rumah yang tak bisa ditunda.
Di titik ini, Lampung 2025 memperlihatkan paradoks pembangunan yang jujur, yakni capaian infrastruktur meningkat, tetapi risiko fiskal ikut membesar. Jalan dan jembatan membaik, tetapi pertanyaan tentang daya tahan anggaran tetap mengemuka. Inilah ujian kepemimpinan daerah, bagaimana menyeimbangkan percepatan pembangunan dengan kehati-hatian fiskal, tanpa terjebak pada euforia angka atau ketakutan berlebihan terhadap risiko.
Refleksi akhirnya sederhana, namun menentukan. Lampung tidak kekurangan proyek, tetapi membutuhkan arah. Tidak kekurangan anggaran, tetapi membutuhkan keberanian memilih prioritas. Infrastruktur yang dibangun hari ini akan menentukan biaya hidup, daya saing, dan kualitas ekonomi Lampung satu dekade ke depan. Karena itu, utang, jika benar diambil,harus bekerja untuk masa depan, bukan sekadar menyelesaikan masa lalu.
Lampung 2025 adalah cermin. Ia menunjukkan bahwa provinsi ini sedang bergerak maju, tetapi juga sedang diuji. Ujian itu bukan pada seberapa panjang jalan dibangun, melainkan seberapa bijak keputusan diambil. Di sanalah kualitas pembangunan, dan kualitas kepemimpinan, akan dinilai.








