Bandarlampung (Netizenku.com): Psikolog Klinis Lampung, Indah Dewanti Rahmalia, mengungkapkan pondok pesantren (Ponpes) berpotensi menjadi sarang perkembangan perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) jika tidak mendapatkan pengawasan.
Pernyataan ini didasarkan pada keluhan klien yang ia terima selama melakukan konseling.
“Setiap harinya, sekitar 10 persen dari klien merupakan penyandang LGBT,” kata dia kepada awak media, Kamis (20/6).
Dari 10 persen pasien penyandang LGBT itu, kebanyakan masih dibawah 17 tahun. Berstatus pelajar dan ada sebagian yang menempuh pendidikan alternatif Ponpes.
Dijelaskannya, ada dua tipologi homosexual. Pertama dia nyaman ketika berhubungan dengan sesama jenis hingga terbawa perasaan, yang kedua dikarenakan faktor tidak ada tempat untuk menyalurkan hasrat sexual yang terlalu tinggi.
“Sedangkan kondisinya hanya ada sesama jenis. Faktor kedua itu kerap terjadi di lapas maupun di Ponpes yang notabene satu asrama isinya sesama jenis,” jelasnya.
Selain itu, tambahnya, menurut teori Freud, memang setiap manusia memiliki bibit untuk menyukai sesama jenis. Hanya saja tidak semua orang mengalami pertumbuhan perasaan tersebut.
“Suka kan tidak harus arah romantis ya. Jadi sebenarnya tergantung bagaimana cara menempatkan rasa suka tersebut,” tambahnya.
Oleh sebab itu Indah meminta orang tua harus lebih waspada lagi memperhatikan anaknya supaya tidak terjerumus ke perilaku yang menyimpang.
“Orang tua harus dapat membangun keterbukaan dengan anak dan harus diajarkan pendidikan seksual sejak dini,” harapnya.
Menurutnya saat ini memang penyandang LGBT mengincar pelajar. Tidak seperti dulu lagi.
“Faktor gawai juga mempengaruhi. Bahkan banyak ditemukan pada pria dewasa yang memang sengaja mereka mengincar anak dibawah umur 17 tahun,” pungkasnya.
Sementara itu, satu diantara santri Ponpes di Provinsi Sai Bumi Ruwa Jurai membenarkan adanya perilaku menyimpang di lingkungan Ponpes.
Semuanya, jelasnya, berawal menjadi korban pelecehan seksual kemudian merabah menjadi pelaku pelecehan seksual.
“Itu semua karena isinya laki-laki semua, jadi kita seperti memperlakukan lelaki seperti halnya perempuan. Kita cubit, kita sentuh-sentuh,” jelasnya sembari meminta untuk nama Ponpesnya tidak disebutkan.
Pelaku melakukan aksi ketika malam hari saat korban sedang tertidur. Setelahnya seiring berjalannya waktu korban berubah menjadi pelaku pelecehan seksual.
“Bahkan ada yang sampai nyaman dan mengakui mereka saling berpacaran,” tuturnya.
Meski mayoritas melakukan perilaku menyimpang, tetapi tidak semuanya melakukan sodomi.
“Banyak juga yang sampai ke sodomi tetapi tidak semuanya,” imbuhnya.
Sementara itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPPA) Provinsi Lampung, Ria Melanie, membenarkan adanya perilaku menyimpang dilingkungan pendidikan maupun Ponpes.
Kasus kekerasan di lingkungan Ponpes sering kali didasari oleh relasi kuasa. Instansi pendidikan tersebut merupakan salah satu penyumbang kasus kekerasan seksual di Lampung.
“Ada kasus sodomi. Kebanyakan pelaku menggunakan relasi kuasa,” kata dia.
Ia juga meminta orang tua untuk membekali anak pendidikan seksual dan berani terbuka ketika menjadi korban pelecehan seksual.
“Jangan dianggap tabu lagi seks. Orang tua harus memberikan pendidikan seperti, mana saja bagian tubuh yang boleh disentuh dan mana saja yang tidak boleh,” tutupnya. (Luki)