Lampung menutup 2025 dengan satu paradoks yang jujur, ekonomi bergerak cepat, tetapi hasilnya belum sepenuhnya berbuah bagi semua. Angka pertumbuhan menanjak, grafik tampak meyakinkan, dan Lampung bahkan melampaui rata-rata Sumatera. Namun di balik statistik yang rapi, pertanyaan yang lebih mendasar justru mengemuka, “Seberapa jauh pertumbuhan itu benar-benar tinggal di dapur rumah tangga, petani, dan pelaku UMKM?”
Pada Triwulan III 2025, ekonomi Lampung tumbuh 5,04 persen secara tahunan (year-on-year). Capaian ini menempatkan Lampung sebagai salah satu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Pulau Sumatera, melampaui rata-rata Sumatera yang berada di kisaran 4,90 persen dan sejalan dengan tren nasional. Sejak awal tahun, sinyal akselerasi sudah terlihat. Triwulan I 2025 bahkan mencatat pertumbuhan 5,47 persen, tertinggi di Sumatra. Secara makro, Lampung jelas tidak berjalan di tempat. Ia bergerak, bahkan bergerak cukup cepat.
Struktur ekonomi Lampung masih ditopang kuat oleh sektor-sektor tradisional yang selama ini menjadi tulang punggung daerah. Pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang sekitar 28,38 persen terhadap PDRB. Industri pengolahan menyusul dengan kontribusi 19,44 persen, sementara perdagangan berada di kisaran 13,91 persen. Di tingkat akar rumput, Nilai Tukar Petani (NTP) Januari 2025 tercatat 132,07, mengindikasi bahwa produktivitas dan daya beli petani relatif terjaga. Konsumsi rumah tangga pun tetap menjadi penopang utama pertumbuhan, menjadi bantalan stabilitas di tengah fluktuasi sektor lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dibandingkan 2024 yang tumbuh 4,57 persen, laju ekonomi 2025 menunjukkan percepatan yang nyata. Lampung bukan hanya berada di atas rata-rata Sumatera, tetapi juga mampu menjaga irama dengan pertumbuhan nasional di kisaran lima persen. Namun justru di titik inilah refleksi perlu diperdalam. Pertumbuhan yang tinggi tidak otomatis berarti kesejahteraan yang merata. Struktur ekonomi Lampung masih menghadapi persoalan klasik, yakni hilirisasi yang tertahan, ekspor komoditas yang rentan terhadap gejolak harga global, dan nilai tambah yang lebih sering dinikmati di luar daerah.
Lampung, dalam metafora yang paling sederhana, adalah pohon ekonomi yang berbuah lebat. Produksi agrikultur kuat, hasil perkebunan melimpah, perikanan bergerak aktif. Namun sebagian besar buah itu masih dijual dalam keadaan mentah. Kopi, singkong, dan hasil laut lebih sering meninggalkan Lampung tanpa sempat diolah menjadi produk bernilai tinggi. Branding lemah, industri pengolahan belum agresif, dan penetrasi pasar belum optimal. Buah sudah matang, tetapi nilai terbaiknya belum dipetik di tanah sendiri.
Di sinilah tantangan ke depan menjadi semakin jelas. Lampung tidak lagi cukup mengejar pertumbuhan, tetapi harus memperdalam kualitasnya. Hilirisasi harus bergerak dari jargon kebijakan menjadi kerja nyata, mengolah komoditas unggulan menjadi produk jadi dengan nilai tambah tinggi. UMKM perlu diperkuat bukan hanya lewat pelatihan seremonial, tetapi melalui akses modal yang adil, pendampingan berkelanjutan, dan jaringan pemasaran yang luas. Pertumbuhan juga harus semakin inklusif, menyentuh masyarakat di akar rumput, memperkuat daya beli, dan menciptakan lapangan kerja yang layak. Integrasi pasar pun perlu diperbaiki agar ketergantungan pada impor bahan baku tidak terus menggerus keuntungan lokal.
Lampung 2025 seperti berdiri di sebuah persimpangan penting. Diantara denyut pertumbuhan yang datang, fondasi ekonomi relatif kokoh, dan peluang masa depan yang menjanjikan. Namun pekerjaan besar justru dimulai setelah angka-angka itu dicatat. Provinsi ini harus memastikan buah pertumbuhan tidak berhenti di statistik, melainkan benar-benar dapat dipetik,oleh petani, pekerja, dan pelaku usaha kecil.
Pertumbuhan ekonomi Lampung pada 2025 memberi alasan untuk optimistis, sekaligus peringatan untuk tidak terlena. Di saat angka-angka menunjukkan akselerasi dan posisi Lampung menguat di peta Sumatera, nilai tambah justru masih berjalan tertatih. Lampung tumbuh, tetapi buahnya belum merata jatuh ke tangan rakyat. Di sinilah ujian sesungguhnya, mengubah laju menjadi lompatan, potensi menjadi nilai tambah, dan pertumbuhan menjadi kesejahteraan yang terasa. Jika itu mampu dilakukan, maka 2026 bukan sekadar tahun pengulangan tumbuh cepat dalam angka, tetapi tahun yang berbuah lebat, manis dan menyegarkan, menyejahterakan.***








