Bandarlampung (Netizenku.com): Dulu, pelajar masih mengenal istilah mengarang bebas. Kegiatan ini diselipkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Sekarang, kebiasaan itu sudah tak diberi tempat lagi. Ruang-ruang kelas seperti hampa tanpa imaji. Tak berwarna. Monokrom semata. Tinggal tersisa rumus-rumus baku dan beban nilai. Untuk kemudian murid dilabeli sebagai murid pandai atau murid yang “perlu belajar lebih giat lagi”.
Kini, pelajar SMA/SMK yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi tak jarang tergagap-gagap mendapati sistem pembelajaran yang menuntut pengembangan logika dan penalaran. Biasanya itu dituangkan dalam bentuk tugas penulisan. Seperti membuat paper, misalnya. Atau skripsi di penghujung masa kuliah.
Apa pula hubungan antara kegiatan mengarang bebas dan “momok” menulis paper saat kuliah? penulis beranggapan keduanya sangat berhubungan. Sebab akar dari kedua kegiatan tersebut berpangkal pada titik yang sama, yakni kemampuan merumuskan pikiran dan menuangkannya dalam bentuk tulisan (teks).
Itu pula yang menjadi pertanyaan besar penulis, mengapa aktivitas mengarang bebas nyaris tak ditemui lagi di sekolah. Apakah lantaran sebutannya yang dianggap tidak intelek. Hanya “mengarang” lalu dibubuhi embel-embel “bebas” pula? makin sempurnalah kadar tidak ilmiah-nya.
Sementara identitas sekolah mungkin sudah mengalami pergeseran pemaknaan. Dimana lembaga sekolah mesti mempresentasikan aura yang kental kadar intelektualitasnya. Itu ditandai lewat simbol-simbol nilai tinggi dari mata pelajaran “utama”. Makin moncer nilai-nilai itu semakin bikin mengkilap reputasi sekolah. Dan mengarang bebas dianggap tak memberi kontribusi dalam mencapai predikat tersebut. Maka say goodbye pada kegiatan mengarang bebas.
Apakah itu merupakan langkah cerdas?
Kalau jawabannya, “Yes, itu kebijakan tepat. Maka perlu dilanggengkan”. Lantas apa sebutannya bagi sekolah-sekolah di negara maju yang masih -bahkan menaruh perhatian besar- menerapkan aktivitas mengarang bebas yang mereka sebut dengan istilah low stakes writing.
Low stakes writing merupakan jenis tugas menulis yang tidak dinilai atau tidak menghitung nilai siswa. Kegiatan ini bahkan diterapkan semenjak di sekolah-sekolah dasar pada negara Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Aktivitas ini diyakini dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan menulis. Guru tidak terlalu menekan tulisan siswa harus benar (dalam penggunaan tanda baca dan huruf kapital) atau mesti mendapatkan nilai menulis yang bagus.
Dengan demikian siswa memiliki kebebasan membuat tulisan sesuai pemikirannya. Sehingga akan lebih antusias melakukan eksperimen ke berbagai gaya dan genre tulisan. Seiring waktu para siswa bakal menemukan jenis tulisan yang disukai dan kuasai. Bersamaan dengan itu proses mengembangkan kecintaan membaca ikut tumbuh. Sungguh, sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui.
Hanya saja, upaya di negara-negara maju itu mungkin bukan sebagai kiblat dunia pendidikan kita. Para pengampu dunia pendidikan kita juga bisa bilang, sebagai negara merdeka dan menganut kurikulum belajar berjuluk merdeka (pula), kita tentu tak perlu selalu mengekor atau mengadopsi segala hal dari barat.
Terlebih, para perumus kebijakan dan guru-guru kita, bila mengutip pengertian kurikulum merdeka, telah diberi keleluasaan untuk menciptakan pembelajaran berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan belajar peserta didik.
Jadi jangan sekali-kali pernah meragukan kemujaraban kebijakan pendidikan yang ada sekarang. Itu semua telah dirumuskan oleh para pakar, lho. Termasuk ketika guru dengan spirit kebebasan kurikulum merdeka menyingkirkan kegiatan mengarang bebas dari kelas-kelas. Lantaran (agaknya) dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan lingkungan belajar peserta didik.
So, go to hell inspirasi dunia pendidikan barat. Kami punya keyakinan sendiri. Sayonara -selamat tinggal- mengarang bebas. Benar begitu? (*)